Rabu, 30 April 2014

Fenomena penonton bayaran

Beberapa tahun terakhir dunia pertelevisian Indonesia berkembang begitu pesat. Muncul berbagai macam kanal televisi baru dengan beragam tayangan dan target penonton yang berbeda-beda.  Seiring dengan fenomena tersebut, muncullah celah bisnis baru yang cukup menggiurkan. Bermacam-macamnya acara televisi yang ada, membuat pihak televisi sebagai pemilik acara terutama acara yang membutuhkan banyak penonton berkepentingan memastikan bahwa acaranya tersebut tidak akan nampak garing dan tidak menarik di mata pemirsanya. Pihak televisi tentu mengalami kesulitan menarik penonton untuk secara sukarela datang menyaksikan acara mereka yang tayang secara rutin kecuali jika acara tersebut memang benar-benar memiliki daya tawar luar biasa di mata para pemirsanya. Hal inilah yang secara tidak langsung telah menciptakan peluang bisnis tersendiri bagi orang-orang yang memang memiliki mata jeli. Orang-orang yang jeli tersebut kemudian menjadi supplier bisnis penonton bayaran yang demandnya semakin hari semakin tinggi. Kini, bisnis penjaja penonton bayaran pun juga ikut berkembang pesat.

Para penonton bayaran kini semakin marak hadir di berbagai macam acara televisi. Pada acara lawak, merekalah yang duduk manis sambil tertawa terpingkal-pingkal dengan volume suara di atas normal entah saat scene acara lawak tersebut benar-benar lucu ataupun hanya sekadar dipaksa menjadi nampak lucu di mata mereka. Mereka harus menghidupkan suasana. Ya kali acara lawak nggak ada yang ketawa bisa berabe, kan?
Pada acara musik, mereka lah yang bergoyang sambil melambai-lambaikan tangannya saat para biduan melantunkan lagunya. Sesekali mereka tertawa saat ada momen-momen yang harusnya bisa memancing tawa demi mendukung para pembawa acara yang mencoba melawak. Sekali lagi agar si pembawa acara tidak kehilangan muka kalau-kalau lawakannya ternyata garing dan gagal memicu tawa.

Fenomena penonton bayaran ternyata juga tidak hanya menimpa acara-acara televisi sepi penonton, namun acara yang memiliki daya tarik luar biasa pemirsa hingga untuk masuk saja harus menggunakan tiket dan antre berjam-jam semisal YKS. Kalau Anda pernah menyimak, YKS pun juga menggunakan penonton bayaran. Mereka seringkali duduk terdepan di depan stage para pelakon acara YKS, atau juga disamping-samping para pelakon. Merekalah yang tertawanya paling kentara, entah saat lelucon para pelakon itu lucu ataupun tidak. Koordinatornya adala Ely Sugigi, pelawak yang kini telah menjelma sebagai salah seorang pengusaha penonton bayaran tersebut. jadi jangan heran kalau dia sering joget-joget di YKS meski tidak diundang tampil sebagai bintang tamu, sebab ia memang sang koordinator para penonton bayaran tersebut.

Fenomena penonton bayaran menurut saya cukup unik. Saya tidak tahu persis, apakah mereka yang direkrut sebagai penonton bayaran adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan ataukah mereka yang sudah memiliki pekerjaan namun hanya sekadar ingin menambah uang saku belaka. Tapi yang membuat saya juga heran, tampilan  mereka terkadang tidak kalah necis dengan para pengisi acara. Pertanyaannya sekarang, berapa upah mereka sehingga sehingga bisa tampil borjuis senacam itu? Mendengar celotehan para pengisi acara yang kadang ‘menyenggol’ para penonton bayaran tersebut, upah mereka di kisaran Rp 25.000. Namun, dari beberapa artikel yang saya baca, upah standar mereka sekitar Rp 30.000, untuk mereka yang memiliki paras yang cantik atau tampan bayaran mereka bisa mencapai Rp 60.000. Selain itu, dari artikel yang saya baca pula terdapat anak-anak alay yang rela hanya sekadar dibayar dengan nasi kotak asalkan bisa tampil di televisi. Miris.

Seluk-beluk tentang para penonton bayaran tidak saya ketahui persisnya. Namun, yang membuat saya miris terkait dengan fenomena ini adalah seringnya para pengisi acara (artis) meledek atau mungkin juga menghina para penonton bayaran tersebut secara terang-terangan. Sering saya tangkap di beberapa acara seperti Bukan Empat Mata, Showimah, Pesbuker, dan beberapa acara lainnya mereka dihina (menurut saya sudah masuk kategori menghina) hanya gara-gara mereka penonton bayaran.

Fenomena penonton bayaran mungkin bisa dikatakan wajar. Selama ada demand di situ akan ada supply. Selama pemirsa disuguhi acara yang tidak menarik dan inspiratif (menarik di mata pemirsa belum tentu inspiratif, demikian juga sebaliknya) tidak akan ada pemirsa yang secara sukarela datang berbondong-bondong ke studio untuk secara langsung menyaksikan acara tersebut. Namun, yang saya tekankan selama penonton bayaran masih dibutuhkan, para pengisi acara (artis) sudah selayaknya turut pula menghargai mereka, jangan menghina mereka meskipun mereka datang bukan tanpa motif (upah dll). Bukankah demikian pokok dari simbiosis mutualisme?
Wassalam.

sumber:
yeano andhika-http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2014/02/06/fenomena-penonton-bayaran-633215.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar